Oleh : Mohammad Muhajir
Perjalanan menuju lokasi raker (rapat kerja) di Jogja tempo hari membawa banyak hal—agenda lembaga, lembar catatan, juga bekal semangat untuk pengabdian. Namun, satu hal tak saya duga, ternyata Allah SWT juga mengizinkan saya pulang membawa kenangan.
Saat turun dari bus untuk makan siang di sebuah rumah makan lokal dalam perjalanan dari Dieng menuju Yogyakarta, sayup-sayup terdengar lagu lawas yang langsung menggugah hati. Judulnya: “Bukit Berbunga.” Bagi banyak orang, mungkin ini lagu biasa. Tapi bagi saya, lagu itu seperti pintu waktu. Membawaku kembali ke bangku kelas 3 SD — tahun 1980-an.
Masih kuingat, lagu itu sering dinyanyikan Andi Nurahman, teman sekelas. Suaranya bening, penuh semangat. Ia kerap tampil saat pelajaran SBDP atau ketika teman-teman memintanya mengisi waktu luang dengan menyanyi. Andi adalah anak yang paling bersemangat ketika diminta menyanyi di depan kelas.
Namun kemudian, sebuah musibah terjadi. Saat pelajaran olahraga, setelah latihan lari rintangan, kami diminta melompati punggung pasangan. Saat itu, Andi mengalami insiden. Sejak saat itu ia tak lagi bisa berjalan normal seperti kami. Tak lama kemudian, ia menjalani homeschooling. Sejak itu kami tak berjumpa lagi.
Bayangan itu muncul begitu jelas. Tanpa sadar, saya membuka grup WhatsApp “Teman SD”—grup yang sebenarnya sudah lama tidak saya akses. Saya tulis:
“Derek, teman kita Andi Nurahman iko isih sehat-sehat tah? Mugo-mugo ngono bener. Biyen bar olahraga lompat geger konco pasangane, kan terus musibah dek e, kelas 3 rasane kuwi. 🤲🏻🤔”
(Artinya: Teman-teman, apakah Andi Nurahman masih sehat? Semoga iya. Dulu saat olahraga lompat-lompatan melewati teman pasangannya, dia mengalami musibah. Rasanya saat kita kelas 3 ya.)
Tak lama kemudian, muncul balasan dari keponakan beliau.
“Dari musibah olahraga itu, kaki kanan Mas Andi sampai sekarang tidak bisa seperti kita-kita. Tapi alhamdulillah, Allah SWT memberi pitulungan lan pituduh (pertolongan dan petunjuk). Sekarang Mas Andi ahli di garmen — dari bikin pola sampai menjahit. Beliau memang gak ada di grup, tapi sehat walafiyah.”
Saya terharu. Ternyata, meski kondisi fisiknya tak pulih seperti semula, Andi tumbuh menjadi pribadi tangguh dan memiliki keahlian khusus. Allah menolongnya — bukan dengan mengembalikan keadaan lamanya, tapi memberi arah hidup baru yang penuh makna.
Kenangan Itu Menyadarkanku Sebagai Guru SD
Empat dekade berlalu. Tapi satu lagu, satu nama, dan satu momen kecil di masa SD tetap hidup dalam ingatan. Dan itu menyadarkan saya:
Sebagai guru hari ini, jangan pernah remehkan satu senyuman, satu pujian, atau satu perhatian kecil kepada murid.
Bisa jadi, satu kalimat motivasi yang kita ucapkan hari ini, akan menjadi pembuka jalan keajaiban hidup mereka puluhan tahun ke depan.
Pelajaran SBDP (Seni Budaya dan Prakarya) yang sering dianggap remeh, bisa jadi menjadi tempat anak-anak mengekspresikan potensinya, dan suatu hari membentuk masa depan mereka. Seperti Andi — yang berangkat dari semangat menyanyi, lalu diuji, dan akhirnya menemukan jalan hidup sebagai ahli garmen.
Mari terus menjadi guru-guru yang sadar: bahwa di balik setiap anak, tersimpan potensi besar yang bisa tumbuh lewat perhatian kecil hari ini.
Karena siapa tahu, satu lagu sederhana, bisa menjadi satu kenangan yang tak pernah dilupakan, bahkan setelah empat puluh tahun.
*) Penulis adalah guru SD Al-Irsyad Surabaya
Komentar
Posting Komentar